Bertaubatlah

Posted by Unknown Selasa, 19 Agustus 2014 1 komentar
Manusia tidak lepas dari kesalahan, besar maupun kecil, disadari maupun tanpa disengaja. Apalagi jika hawa nafsu mendominasi jiwanya. Ia akan menjadi bulan-bulanan berbuat kemaksiatan. Ketaatan, seolah tidak memiliki nilai berarti.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَاءٌ وَ خَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّبُوْنَ. رَوَاهُ التِّرْمـِذِيُّ
Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat. [HR At Tirmidzi, no.2499 dan dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, no. 4391]
لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا لَخَلَقَ اللهُ الْخَلقَ يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ رَواه الْحَاكِمُ
Seandainya hamba-hamba Allah tidak ada yang berbuat dosa, tentulah Allah akan menciptakan makhluk lain yang berbuat dosa kemudian mengampuni mereka. [HR Al Hakim, hlm. 4/246 dan dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 967] {http://almanhaj.or.id/content/2975/slash/0/taubat-nashuha/}
Banyak diantara kita sudah merasa berdosa tetapi malah menunda-nunda untuk bertaubat, dengan alasan-alasan antara lain:
1. Masih menggandrungi perbuatan dosa tersebut, bahkan merasa nyaman, enak, dan bangga dengannya,
2. Menganggap remeh perbuatan dosa
3. Khawatir jika sudah bertaubat pun akan terjebak dalam dosa yang sama, jadi taubatnya nanti saja, kalau merasa benar-benar sudah mampu meninggalkannya 100%, dll
Padahal sikap ini justru menimbulkan dosa tersendiri, simak yang berikut ini:
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Bertaubat dengan segera merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ditunda. Setiap kali seorang hamba menunda taubat, berarti ia telah berbuat maksiat kepada Allah dan apabila ia sudah bertaubat dari dosa yang dilakukannya, maka tinggal kewajiban untuk bertaubat dari perbuatan menunda pelaksanaan taubat.”
Jarang sekali hal ini terlintas dalam pikiran orang yang bertaubat, bahkan menurutnya, apabila sudah bertaubat dari dosa ia lakukan, berarti tidak ada lagi kewajiban lain yang harus ia laksanakan, yaitu bertaubat dari perbuatan menunda-nundanya.” (Madaarijus Saalikiin [I/283])
Selain itu, menunda taubat justru merupakan penyebab sulitnya bertaubat dan pendorong iuntuk melakukan dosa yang lainnya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya jika seorang mukmin melakukan dosa, maka tertorehlah noda hitam dihatinya. Apabila ia bertaubat dan berhenti dari dosa itu dan memohon ampun kepada Allah, maka hatinya mejadi bersih dari noda tersebut. Apabila dosanya bertambah, maka bertambah pula noda tersebut sampai menutupi hatinya. Itulah noda yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya : ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup (menjadi noda) hati mereka.” (QS. al-Muthaffifiin: 14) [Diriwayatkan oleh Ahmad (II/298), at Tirmidzi (no.3334) dan beliau menyatakan bahwa hadits tersebut derajatnya hasan shahih, Ibnu Majah (no.4244), an Nasa-i dalam kitab al Kubra(no.11658), Ibnu Hibban (no.930), serta al Hakim (II/562) dan beliau menshahihkannya. Sementara itu, adz Dzahabi berkata: ‘Menurut syarat Muslim.’ Diriwayatkan juga oleh al Baihaqi dalam Sunan-nya (X/188)] {http://alqiyamah.wordpress.com/2009/10/18/janganlah-kita-menunda-nunda-taubat/}
Perhatikan Saudaraku, hadits berikut ini membantah habis syubhat no. 3 di atas:
Mengenai hal ini, cobalah kita renungkan dalam hadits berikut. Dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diceritakan dari Rabbnya ‘azza wa jalla,
أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَبْدِى أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى
ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ
“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu dia mengatakan ‘Allahummagfirliy dzanbiy’ [Ya Allah, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa. Beramallah sesukamu, sungguh engkau telah diampuni.”( HR. Muslim no. 2758). An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘beramallah sesukamu’ adalah selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu.
An Nawawi mengatakan, ”Seandainya seseorang berulang kali melakukan dosa hingga 100 kali, 1000 kali atau lebih, lalu ia bertaubat setiap kali berbuat dosa, maka pasti Allah akan menerima taubatnya setiap kali ia bertaubat, dosa-dosanya pun akan gugur. Seandainya ia bertaubat dengan sekali taubat saja setelah ia melakukan semua dosa tadi, taubatnya pun sah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/75) [http://rumaysho.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/3084-melebur-dosa-dengan-taubat-yang-tulus.html]
Ini fenomena yang umum terjadi, di masa sekarang ini, dimana senantiasa terjadi tarik menarik antara kubu para pelaku dosa dan kubu orang yang bertaubat. Masing-masing kubu bersenang hati menerima kehadiran seseorang untuk kembali, yang selama ini berpisah dengan mereka. Orang-orang yang bertaubat senang menerima hadirnya pelaku dosa yang kembali bertaubat atas dosa-dosanya. Begitu pula, para pelaku dosa akan riang gembira menyambut orang shalih yang kembal menggeluti dosa-dosa lamanya.
Maka begitu banyak orang yang menjadi korban tarik-menarik itu. Berapa banyak orang sholih yang akhirnya terjebak dalam dosa, yang dari dosa itu dahulu pernah bertaubat. Sayangnya, itu terjadi berkali-kali sepanjang hidupnya.
Namun, selama ia tulus bertaubat dan ingin memperbaiki diri, tak ada istilah pintu taubat tertutup baginya selama nyawa belum sampai di kerongkongan dan matahari terbit dari barat. (Dari artikel “Bekal Menuju Taubat”, bonus majalah Nikah vol 8, edisi 5,  Agustus 2009)

Peringatan!
Hadits ini bukanlah dalil bagi seseorang untuk menunda-nunda taubat, atau meremehkan urusan dosa. Tapi ini fenomena yang bisa terjadi pada seseorang. Dan bila itu terjadi, ia tidak boleh berhenti bertaubat, selama hayat masih dikandung badan.
Al-Qurthubi menjelaskan, “pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini adalah: kembali berbuat dosa adalah lebih buruk dari ketika pertama kali melakukan dosa itu, karena dengan kembali berdosa itu, ia berarti melanggar taubatnya. Tapi, kembali melakukan taubat adalah lebih baik dari taubatnya yang pertama, karena ia berarti terus meminta kepada Alloh Yang Maha Pemurah, terus meminta kepada-Nya, dan mengakui bahwa tidak ada yang dapat memberikan taubat selain Alloh…,” (lihat Fathul Bari: 14/471) [Dari artikel "Bekal Menuju Taubat", bonus majalah Nikah vol 8, edisi 5,  Agustus 2009]
Hadits ini juga bukanlah izin untuk mengulangi dosa lagi. Oleh karena itu, setiap orang tetap harus hati-hati dalam berbuat dosa supaya mendapatkan ampunan Allah. Karena setiap hamba tidaklah tahu kapan ia bisa beristighfar dan bertaubat lagi. Boleh jadi ia tidak sempat melakukannya karena maut ternyata lebih dulu menghampiri. (http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/3987-faedah-tauhid-7-allah-yang-maha-pengampun.html)
Jangan Salah Paham dengan Syarat Taubat!
Ada beberapa persyaratan agar suatu taubat bisa disebut dengan taubat nashuha dan bisa diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, antara lain (http://asysyariah.com/adakah-shalat-hajat-dan-shalat-taubat.html):
1. Menyesali perbuatan dosanya;
2. Meninggalkannya;
3. Bertekad untuk tidak melakukannya lagi selama-lamanya;
4. Bila terkait dengan hak orang, dia mengembalikannya kepada orang yang dizalimi.
Baca juga tentang syarat taubat yang lebih lengkap dengan penjelasannya di http://al-atsariyyah.com/shalat-taubat-dan-syaratnya.htmlhttp://rumaysho.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/3084-melebur-dosa-dengan-taubat-yang-tulus.htmlhttp://abumushlih.com/syarat-taubat-sejati.htmlhttp://almanhaj.or.id/content/2975/slash/0/taubat-nashuha/; dan http://kajiansalafyui.wordpress.com/2009/06/07/taubat/
Syarat taubat ketiga di atas bukan “tidak mengulanginya selama-lamanya”. Yang benar adalah ‘azzam untuk tidak berbuat lagi. Paham ya?
Jadi kalau terjerumus lagi, ya taubat lagi. Yang penting tekad itu dimantapkan dalam hati untuk tidak berbuat lagi. Dan Alloh tahu apakah seseorang tersebut taubatnya serius atau main-main. Alloh Mahatahu, apakah diucapkan saja, terus nanti akan berbuat lagi, atau memang benar-benar berniatuntuk berhenti.
Tapi tidak mustahil kita sudah bertekad, ikhlash, sudah betul-betul murni tekadnya, tapi kalah lagi, kejeblos lagi, sampai akhirnya  menangis dan kemudian bertaubat. Besok sungguh-sungguh lagi, insyaAlloh diampuni, walaupun tiga-empat kali terjerumus. Yang penting kita bertaubat dengan syarat: selain menghentikan perbuatan itu, maka setelah itu bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, dengan ikhlash bertekad dalam hati bahwa saya tidak berbuat lagi. Terus begitu, sebelum nyawa di kerongkongan dan matahari terbit dari barat, pintu taubat masih tetap terbuka. (http://insinyur-muslim.blogspot.com/2011/01/taubat-lagi-maksiat-lagi-tanya-jawab.html)

Untuk melengkapi pembahasan di atas, berikut ini saya ulas tentang buah/faidah/keutamaan taubat, bahaya meremehkan dosa, apa yang harus dilakukan ketika taubat, dan penghalang taubat.
A. Buah/Faidah/Keutamaan Taubat
Pada hakikatnya taubat itulah isi ajaran Islam dan fase-fase persinggahan iman. Setiap insan selalu membutuhkannya dalam menjalani setiap tahapan kehidupan. Maka orang yang benar-benar berbahagia ialah yang menjadikan taubat sebagai sahabat dekat dalam perjalanannya menuju Allah dan negeri akhirat. Sedangkan orang yang binasa adalah yang menelantarkan dan mencampakkan taubat di belakang punggungnya. Beberapa di antara keutamaan taubat ialah:
Pertama: sebab untuk meraih kecintaan dan ridho Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Alloh dalam QS. Al Baqarah: 222 dan At-Tahrim: 4
Kedua: ssebab keberuntungan, sebagaimana firman Alloh dalam QS. An Nuur: 31
Ketiga: sebab diterimanya amal-amal hamba dan turunnya ampunan atas kesalahan-kesalahannya, sebagaimana firman Alloh dalam QS. Asy Syuura: 25 dan QS. Al Furqaan: 71
Keempat: sebab masuk surga dan keselamatan dari siksa neraka, sebagaimana firman Alloh dalam QS. Maryam: 59, 60; At-Tahrim: 8 dan Ghafir: 7
Kelima: sssebab mendapatkan ampunan dan rahmat, sebagaimana firman Alloh dalam QS. Al A’raaf: 153
Keenam: sebab berbagai kejelekan diganti dengan berbagai kebaikan, sebagaimana firman Alloh dalam QS. Al Furqaan: 68-70  dan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang bertaubat dari suatu dosa sebagaimana orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Ketujuh: sebab untuk meraih segala macam kebaikan, sebagaimana firman Alloh dalam QS. At Taubah: 3 dan QS. At Taubah: 74
Kedelapan: sebab untuk menggapai keimanan dan pahala yang besar, sebagaimana firman Alloh dalam QS. An Nisaa’: 146
Kesembilan: sebab turunnya barakah dari atas langit serta bertambahnya kekuatan, sebagaimana firman Alloh dalam QS. Huud: 52
Kesepuluh:  malaikat mendoakan orang-orang yang bertaubat, sebagaimana firman Alloh dalam QS. Ghafir: 7
Kesebelas: termasuk ketaatan kepada kehendak Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Alloh dalam QS. An Nisaa’: 27). Maka orang yang bertaubat berarti dia adalah orang yang telah melakukan perkara yang disenangi Allah dan diridhai-Nya.
Kedua belas: Allah bergembira dengan sebab hal itu.
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sungguh Allah lebih bergembira dengan sebab taubat seorang hamba-Nya ketika ia mau bertaubat kepada-Nya daripada kegembiraan seseorang dari kalian yang menaiki hewan tunggangannya di padang luas lalu hewan itu terlepas dan membawa pergi bekal makanan dan minumannya sehingga ia pun berputus asa lalu mendatangi sebatang pohon dan bersandar di bawah naungannya dalam keadaan berputus asa akibat kehilangan hewan tersebut, dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hewan itu sudah kembali berada di sisinya maka diambilnya tali kekangnya kemudian mengucapkan karena saking gembiranya, ‘Ya Allah, Engkaulah hambaku dan akulah tuhanmu’, dia salah berucap karena terlalu gembira.” (HR. Muslim)
Ketiga belas: sebab bersihnya hati dan menjadikannya bersinar dan bercahaya, sebagaimana firman Alloh dalam QS. Tahrim: 4 dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya:
“Sesungguhnya seorang hamba apabila berbuat dosa maka di dalam hatinya ditorehkan sebuah titik hitam. Apabila dia meninggalkannya dan beristighfar serta bertaubat maka kembali bersih hatinya. Dan jika dia mengulanginya maka titik hitam itu akan ditambahkan padanya sampai menjadi pekat, itulah raan yang disebutkan Allah ta’ala,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak akan tetapi itulah raan yang menyelimuti hati mereka akibat apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Muthaffifin: 14) (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dihasankan Al Albani)
(http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/keutamaan-taubat.html dengan perubahan/tambahan). Selengkapnya, tentang keutamaan taubat poin 1 s.d. 13, bacalah situs tersebut
Keempat belas: Diberikan kenikmatan yang baik (sewaktu di dunia) dan terhindar dari siksa di hari kiamat, sebagaimana firman Alloh dalam QS. Hud: 3
Kelima belasMelapangkan rizki, memberikan keberkahan dari langit dan bumi, sebagaimana firman Alloh dalam QS. Nuh: 10-12
(Dari artikel karya Ust. Kholid Syamhudi di majalah El-Fata Edisi 5 Volume 6 Tahun 2006)

Baca Selengkapnya ....

Jadilah Pemimpin Yang Merakyat

Posted by Unknown 0 komentar
Sedikit sekali pemimpin yang kita temui sekarang ini merakyat. Walaupun banyak yang dari mereka boleh dibilang sudah amanah, walaupun tidak setiap amanah mereka kerjakan. Coba lihat bagaimana seorang pemimpin menguasai jalanan umum, meminggirkan rakyatnya karena mau lewat. Bikin macet selama berjam-jam hanya karena menunggu iring-iringannya lewat. Para siswa SD disuruh keluar sambil ngibas-ngibasin bendera merah putih, jam belajar yang harusnya mereka gunakan untuk mengenyam ilmu dihabiskan untuk berpanas-panasan di pinggir trotoar sambil menyambutnya. Apa ini bisa disebut merakyat?
Merakyat itu adalah ia memakai baju sama seperti baju yang dipakai rakyatnya. Ia makan makanan sebagaimana rakyatnya makan. Ia pergi ke tempat bekerja sebagaimana rakyatnya pergi ke tempat kerja. Ia memakai bahasa yang bisa difahami oleh rakyatnya. Ia mau mendengarkan keluhan rakyatnya. Ia pun mampu memberikan solusi bagi permasalahan rakyatnya. Ia rela harus berlapar-lapar bersama rakyatnya. Ia pun ikut berjama’ah bersama rakyatnya, dan apabila ia terlambat dalam sholat Jum’at misalnya, ia rela duduk di belakang karena tempatnya sudah penuh. Pemimpin itu membuat rakyat kaya, bukan makin membuat rakyat susah. (http://abuaisyah.com/2012/05/16/catatan-tentang-para-pemimpin/)
Secara singkat dapat saya simpulkan bahwa pemimpin yang merakyat adalah pemimpin yang mengerti kondisi rakyatnya, mau mendengar keluhan mereka, dan dapat memberikan solusi yang terbaik.
Postingan ini tidak bermaksud mengunggulkan capres tertentu. Jika boleh, artikel ini  hanya merupakan nasihat kepada siapapun presiden / wakil presiden yang terpilih. Oleh karena itu, upload tulisan ini tidak dilakukan sebelum 9 Juli 2014. Semoga tulisan ini dapat diambil ibrohnya bagi siapa pun pembacanya, terutama pemimpin yang memimpin suatu organisasi tertentu. Dari artikel berikut ini, kita dapat mengetahui betapa “merakyatnya” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya (dalam hal ini Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu).
001
  Sumber: Majalah Al-Mawaddah Edisi Sya’ban 1432 H / Juli 2011 M
 Para khalifah sepeninggal Nabi, radhiyallahu ‘anhum, juga merupakan sosok pemimpin yang sangat memperhatikan keadaan rakyatnya. Yang paling terkenal adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththabradhiyallahu ‘anhu. Semoga kisah-kisah berikut ini dapat memberikan secuil gambaran keutamaan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, terutama dalam kepemimpinannya.
Inilah standar makanan keluarga Umar radhiyallahu ‘anhu
Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “tidak halal bagiku harta yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala kecuali dua pakaian. Satu untuk dikenakan di musim dingin dan satu lagi digunakan untuk musim panas. Adapun makanan untuk keluargaku sama saja dengan makanan orang-orang Quraisy pada umumnya, bukan standar yang paling kaya di antara mereka. Aku sendiri hanyalah salah seorang dari kaum muslimin.”(Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat, 3/275 dengan sanad yang shahih)
Jika menugaskan para gubernurnya, Umar radhiyallahu ‘anhu akan menulis perjanjian yang disaksikan oleh kaum Muhajirin. Umar radhiyallahu ‘anhu mensyaratkan kepada mereka agar tidak menaiki kereta kuda, tidak memakan makanan yang enak-enak, tidak berpakaian yang halus, dan tidak menutup pintu rumahnya kepada rakyat yang membutuhkan bantuan. Jika mereka melanggar pesan ini maka akan mendapatkan hukuman.(Ibnu Sa’ad menyebutkan hal yang senada dan ringkas di dalam ath-Thabaqat, 3/207 dari jalan al-Waqidi dan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tarikh nya, 4/207 dengan sanad la ba’sa bih (tidak mengapa))
Anas berkata, “antara dua bahu dari baju Umar radhiyallahu ‘anhu, terdapat empat tambalan, dan kainnya ditambal dengan kulit. Pernah beliau khutbah di atas mimbar mengenakan kain yang memiliki 12 tambalan. (Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dari jalan-jalan yang sahih bersumber dari riwayat Anas. (Ath- Thabaqat al-Kubra, 3/328))
Pada waktu tahun paceklik dan kelaparan beliau tidak pernah makan kecuali roti dan minyak hingga kulit beliau berubah menjadi hitam, beliau berkata, “Akulah sejelek-jelek penguasa apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.”
Pada wajah beliau terdapat dua garis hitam disebabkan banyak menangis. Terkadang beliau mendengar ayat Allah Subhanahu wa ta’ala. dan jatuh pingsan karena perasaan takut, hingga terpaksa dibopong ke rumah dalam keadaan pingsan. Kemudian kaum muslimin menjenguk beliau beberapa hari, padahal beliau tidak memiliki penyakit yang membuat beliau pingsan kecuali perasaan takutnya.(Lihat Tafsir al-Quran al-Azhim karya Ibn Katsir, 7/4Q7, ketika menafsirkan ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya Adzab Rabbmu pasti akan terjadi.” Lihat pula ad-Durar al-Mantsur karya as-Suyuti, 6/118)
Perhatian Umar radhiyallahu ‘anhu terhadap perempuan tua yang buta dan rakyat-rakyatnya yang kekurangan
Thalhah bin Ubaidillah berkata, “Suatu ketika Umar radhiyallahu ‘anhu keluar dalam kegelapan malam dan masuk ke salah satu rumah, maka pada pagi hari aku mencari rumah tersebut dan aku datangi, ternyata dalam rumah itu terdapat seorang perempuan tua yang buta sedang duduk. Aku tanyakan kepadanya, “mengapa lelaki ini (Umar radhiyallahu ‘anhu) datang ke rumahmu?” Wanita itu menjawab, “Ia selalu mengunjungiku setiap beberapa hari sekali untuk membantuku membersihkan dan mengurus segala keperluanku.” Aku berkata kepada diriku, “Celakalah dirimu wahai Thalhah, kenapa engkau memata-matai Umar radhiyallahu ‘anhu?”
Aslam Maula Umar berkata, “Pernah datang ke Madinah satu rombongan saudagar, mereka segera turun di mushalla, maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abdurrahman bin Auf, ‘Bagaimana jika malam ini kita menjaga mereka?’ Abdurrahman berkata, ‘Ya, aku setuju!’ Maka keduanya menjaga para saudagar tersebut sepanjang malam sambil shalat. Namun tiba-tiba Umar radhiyallahu ‘anhu mendengar suara anak kecil menangis, segera Umar radhiyallahu ‘anhu menuju tempat anak itu dan bertanya kepada ibunya, ‘Takutlah engkau kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. dan berbuat baiklah dalam merawat anakmu.’ Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu kembali ke tempatnya. Kemudian ia mendengar lagi suara bayi itu dan ia mendatangi tempat itu kembali dan bertanya kepada ibunya seperti pertanyaan beliau tadi.
Setelah itu Umar radhiyallahu ‘anhu kembali ke tempatnya semula. Di akhir malam dia mendengar bayi tersebut menangis lagi. Umar radhiyallahu ‘anhu segera mendatangi bayi itu dan berkata kepada ibunya, ‘Celakalah engkau, sesungguhnya engkau adalah ibu yang buruk, kenapa aku mendengar anakmu menangis sepanjang malam?’ Wanita itu menjawab, ‘Hai tuan, sesungguhnya aku berusaha menyapihnya dan memalingkan perhatiannya untuk menyusu tetapi dia masih tetap ingin menyusu.’ Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya, ‘Kenapa engkau akan menyapihnya?’ Wanita itu menjawab, ‘Karena Umar radhiyallahu ‘anhu hanya memberikan jatah makan terhadap anak-anak yang telah disapih saja.’ Umar radhiyallahu ‘anhu. bertanya kepadanya, ‘Berapa usia anakmu?’ Dia menjawab, ‘Baru beberapa bulan saja.’ Maka Umar radhiyallahu ‘anhu. berkata, ‘Celakalah engkau kenapa terlalu cepat engkau menyapihnya? Maka ketika shalat subuh bacaan beliau nyaris tidak terdengar jelas oleh para makmum disebabkan tangisnya. Beliau berkata, ‘Celakalah engkau hai Umar berapa banyak anak-anak bayi kaum muslimin yang telah engkau bunuh.’ Setelah itu ia menyuruh salah seorang pegawainya untuk mengumumkan kepada seluruh orang, Janganlah kalian terlalu cepat menyapih anak-anak kalian, sebab kami akan memberikan jatah bagi setiap anak yang lahir dalam Islam.’ Umar radhiyallahu ‘anhu. segera menyebarkan berita ini ke seluruh daerah kekuasaannya.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat, 3/302 dengan sanadnya dari jalan Abdullah bin Umar)
Aslam berkata, “Pernah suatu malam aku keluar bersama Umar radhiyallahu ‘anhu ke luar kota Madinah. Kami melihat ada sebuah tenda dari kulit, dan segera kami datangi, ternyata di dalamnya ada seorang wanita sedang menagis. Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang keadaannya, dan dia menjawab, ‘Aku adalah seorang wanita Arab yang akan bersalin (melahirkan) sedang tidak memiliki apapun.’ Umar radhiyallahu ‘anhu menangis dan segera berlari menuju rumah Ummu Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib -istrinya-, dan berkata, ‘Apakah engkau mau mendapatkan pahala yang akan AllahSubhanahu wa ta’ala karuniakan kepadamu?’ Segera Umar radhiyallahu ‘anhu memberitakan padanya mengenai wanita yang dilihatnya tadi, maka istrinya berkata, ‘Ya, aku akan membantunya.’ Umarradhiyallahu ‘anhu segera membawa satu karung gandum beserta daging di atas bahunya, sementara Ummu Kaltsum membawa peralatan yang dibutuhkan untuk bersalin, keduanya berjalan mendatangi wanita tersebut. Sesampainya di sana Ummu Kaltsum segera masuk ke tempat wanita itu, sementara Umar radhiyallahu ‘anhu duduk bersama suaminya -yang tidak mengenal Umar radhiyallahu ‘anhu -sambil berbincang-bincang.
Akhirnya wanita itu berhasil melahirkan seorang bayi. Ummu Kaltsum berkata kepada Umarradhiyallahu ‘anhu, ‘Wahai Amirul mukminin sampaikan berita gembira kepada suaminya bahwa anaknya yang baru lahir adalah lelaki. Ketika lelaki itu mendengar perkataan Amirul Mukminin ia merasa sangat kaget dan minta maaf kepada Umar radhiyallahu ‘anhu. Namun Umar radhiyallahu ‘anhuberkata kepadanya, ‘Tidak mengapa.’ Setelah itu Umar radhiyallahu ‘anhu. memberikan kepada mereka nafkah dan apa yang mereka butuhkan lantas beliaupun pulang.”
Aslam berkata, “Suatu malam aku keluar bersama Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu ke dusun Waqim. Ketika kami sampai di Shirar1 kami melihat ada api yang dinyalakan. Umar radhiyallahu ‘anhuberkata, ‘Wahai Aslam di sana ada musafir yang kemalaman, mari kita berangkat menuju mereka.’ Kami segera mendatangi mereka dan ternyata di sana ada seorang wanita bersama anak-anaknya sedang menunggu periuk yang diletakkan di atas api, sementara anak-anaknya sedang menangis, Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya, ‘Assalamu alaiki wahai pemilik api.’ Wanita itu menjawab, ‘Wa alaika as-Salam’, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Kami boleh mendekat?’ Dia menjawab, ‘Silahkan!’ Umarradhiyallahu ‘anhu segera mendekat dan bertanya, ‘Ada apa gerangan dengan kalian?’ Wanita itu menjawab, ‘Kami kemalaman dalam perjalanan serta
kedinginan.’ Umar radhiyallahu ‘anhu kembali bertanya, ‘Kenapa anak-anak itu menangis?’Wanita
itu menjawab, ‘Karena lapar.’ Umar radhiyallahu ‘anhu kembali bertanya, ‘Apa yang engkau masak di atas api itu?’ Dia menjawab, Air agar aku dapat menenangkan mereka hingga tertidur. Dan AllahSubhanahu wa ta’ala kelak yang akan jadi hakim antara kami dengan Umar radhiyallahu ‘anhu.’
Maka Umar radhiyallahu ‘anhu menangis dan segera berlari pulang menuju gudang tempat penyimpanan gandum. la segera mengeluarkan sekarung gandum dan satu ember daging, sambil berkata, ‘Wahai Aslam naikkan karung ini ke atas pundakku.’ Aslam berkata, ‘Biar aku saja yang membawanya untukmu.’ Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, ‘Apakah engkau mau memikul dosaku kelak di hari Kiamat?’ Maka beliau segera memikul karung tersebut di atas pundaknya hingga mendatangi tempat wania itu. Setelah meletakkan karung tersebut beliau segera mengeluarkan gandum dari dalamnya dan memasukkannya ke dalam periuk. Setelah itu ia memasukkan daging ke dalamya. Umar radhiyallahu ‘anhu berusaha meniup api di bawah periuk hingga asap menyebar di antara jenggotnya untuk beberapa saat. Setelah itu Umar radhiyallahu ‘anhu menurunkan periuk dari atas api dan berkata, ‘Berikan aku piring kalian!’. Setelah piring diletakkan segera Umar radhiyallahu ‘anhu menuangkan isi periuk ke dalam piring itu dan menghidangkannya kepada anak-anak wanita itu dan berkata, ‘Makanlah!’ Maka anak-anak itu makan hingga kenyang, wanita itu berdoa untuk Umar radhiyallahu ‘anhu agar diberi ganjaran pahala sementara dia sendiri tidak mengenal Umar radhiyallahu ‘anhu. Umar radhiyallahu ‘anhumasih bersama mereka hingga anak-anak itu tertidur pulas. Setelah itu Umar radhiyallahu ‘anhumemberikan kepada mereka nafkah lantas pulang. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku, ‘Wahai Aslam sesungguhnya rasa laparlah yang membuat mereka begadang dan tidak dapat tidur’.”(Dikeluarkan oleh Ahmad dalam kitab Fadhailas-Shahabah, no. 382 dan Muhaqqiq kitab itu berkomentar, “sanadnya Hasan.” Lihat Tarikh ath-Thabari, 4/ 205-206.)
[Disalin dari buku Al-Bidayah wan Nihayah Masa Khulafa'ur Rasyidin, cetakan I, Darul Haq, hal 177 - 181 (judul asli: Tartib wa Tahdzib Al-Kitab Bidayah wan Nihayah, Penulis: Ibnu Katsir, Penyusun: Dr. Muhammad bin Shamil as-Sulami, Penerbit: Dar al-Wathan, Cet. I) dengan sedikit perubahan/tambahan]
1 Shirar adalah sebuah sumur yang berjarak sekitar 3 mil dari kota Madinah, menghadap ke kampung. (Mu’jam al-Ma’alim al-Jughrafiyah, 175).

Baca Selengkapnya ....

Ternyata Tahlilan Bukan Ajaran Islam

Posted by Unknown 1 komentar
Sudah kita ketahui bersama bahwa sering kita lihat bahkan sering kita lakukan suatu ibadah dalam islam yaitu Tahlilan atau kirim doa atau Fatihah ke orang tua atau keluarga yg telah meninggal dunia.

Apakah kita sudah memeriksa atau meneliti asal muasal tahlilan tersebut?
Karena kita dalam beribadah harus mengikuti Ajaran yg telah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam apabila tidak dicontohkan makan amal tersebut tidak diterima

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam



عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أحْدَثَ فيِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ.
وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Dari 'Aisyah radliyallâhu 'anha dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-ada (memperbuat sesuatu yang baru) di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan bersumber padanya (tidak disyari'atkan), maka ia tertolak." (HR.al-Bukhari) 

Di dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk urusan kami (agama), maka ia tertolak."

Maka dari hadits diatas apabila suatu ibadah tidak didasari oleh Syariat islam maka amalnya tidak diterima

oleh karena itu Apakah Ibadah Tahlilan itu Berdasarkan dari Islam atau dari Agama Lain
- See more at: http://artikelassunnah.blogspot.com/2011/11/ternyata-tahlilan-bukan-dari-ajaran.html#sthash.M4dlA8kW.dpuf

Baca Selengkapnya ....

Konsep Tuhan dalam Islam

Posted by Unknown 1 komentar
Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur’an terdapat 99 Nama Allah (asma’ul husna artinya: “nama-nama yang paling baik”) yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas. Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah “Maha Pengasih” (ar-rahman) dan “Maha Penyayang” (ar-rahim).
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul dimana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun.[8] Menurut al-Qur’an, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS al-An’am[6]:103)
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal: Menurut al-Qur’an, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”
Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi (29:46). Namun, hal ini tidak diterima secara universal oleh kalangan non-Muslim.
Konsep Tuhan
Konsep ketuhanan dalam Islam digolongkan menjadi dua: konsep ketuhanan yang berdasar al-Qur’an dan hadits secara harafiah dengan sedikit spekulasi sehingga banyak pakar ulama bidang akidah yang menyepakatinya, dan konsep ketuhanan yang bersifat spekulasi berdasarkan penafsiran mandalam yang bersifat spekulatif, filosofis, bahkan mistis.
Konsep ketuhanan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits
Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama al-Qur’an (Al-‘Alaq [96]:1-5), Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk di antaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur’an adalah kalam Allah, sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur’an merupakan “penuturan Allah tentang diri-Nya.”
Selain itu menurut Al-Qur’an sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak manusia pertama kali diciptakan (Al-A’raf [7]:172). Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur’an menegaskan ini dalam surah Az-Zumar [39]:8 dan surah Luqman [31]:32.
Tuhan mengirimkan utusan
Tuhan juga mengirimkan utusan-Nya saat kerusakan moral terjadi untuk mengembalikan hakekat tauhid dan menegakkan ajaran-Nya (Al-Anbiya [21]:25). Semua utusan diutus untuk tujuan yang sama, yaitu tauhid. Al-Qur’an menyebutkan perkataan nabi-nabi dahulu yang menyerukan tauhid yang sama, di antaranya nabi Nuh, Hud, Shaleh, dan Syu’aib dalam ayat surah Al-A’raf secara berurutan: ayat 59, 65, 73, dan 85. Nabi Musa dan Isa dan nabi-nabi lain juga menerima wahyu tauhid yang sama. Musa menerima wahyu tauhid, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku, (Ta Ha [20]:13-14) dan begitu pula Isa. Isa menyampaikan kepada Bani Israel untuk menembah Tuhan yang sama, yaitu Tuhan-nya Isa juga Tuhan Bani Israel.(Al-Ma’idah [5]:72).
Kemudian sebagai nabi penutup, Tuhan mengutus Muhammad sebagai nabi untuk alam semesta. Masyarakat Arab Jahiliyah saat itu, ketika Muhammad diutus, merupakan kaum yang mengenal Allah namun dalam konsep yang salah. Arab pra-Islam memang mengenal Allah sebagai Pencipta (Al-‘Ankabut [29]:61-63) dan bersumpah atas nama Allah (Al-An’am [6]:106), namun beranggapan keliru atas Allah. Mereka menganggap Allah merupakan golongan Jin (As-Saffat [37]:158), memiliki anak-anak wanita (Al-Isra’ [17]:40), dan bahwa manusia karena tidak mampu berdialog dengan Allah, karena ketinggian dan kesucian-Nya, menjadikan malaikat-malaikan dan berhala-berhala untuk disembah sebagai perantara mereka dengan Allah (Az-Zumar [39]:3).
Tuhan Maha Esa
Keesaan Tuhan atau Tauḥīd adalah mempercayai dan mengimani dengan sepenuh hati bahwa Allah itu Esa dan (wāḥid). Al-Qur’an menegaskan keberadaan kebenaran-Nya yang tunggal dan mutlak yang melebihi alam semesta sebagai; Zat yang tidak tampak dan wahid yang tidak diciptakan.[12] Menurut al-Qur’an: “Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain.” (al-An’am [6]:133)
Menurut Vincent J. Cornell, al-Qur’an juga memberikan citra monis Tuhan dengan menjelaskan realitas-Nya sebagai medan semua yang ada, dengan Tuhan menjadi sebuah konsep tunggal yang akan menjelaskan asal-muasal semua hal yang ada: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Akhir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Hadid [57]:3)” Sebagian Muslim walau begitu, mengkritik intepretasi yang mengacu pada pandangan monis atas Tuhan sebagai pengkaburan antara Pencipta dan dicipta, dan ketidakcocokannya dengan monoteisme redikal Islam.
Ketidakmampuan Tuhan mengimplikasikan ketidakmahakuasaan Tuhan dalam mengatur konsepsi universal sebagai keuniversalan moral yang logis dan sepantasnya daripada eksistensial dan kerusakan moral (seperti dalam politeisme). Dalam hal serupa, al-Qur’an menolak bentuk pemikiran ganda sebagai gagasan dualitas atas Tuhan dengan menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan diturunkan dari perilaku Tuhan dan bahwa kejahatan menyebabkan tidak adanya daya untuk menciptakan. Tuhan dalam Islam sifatnya universal daripada tuhan lokal, kesukuan, atau paroki; zat mutlak yang mengajarkan nilai kebaikan dan melarang kejahatan.
Tauhid merupakan pokok bahasan Muslim.  Menyamakan Tuhan dengan ciptaan adalah satu-satunya dosa yang tidak dapat diampuni seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an.  Umat Muslim percaya bahwa keseluruhan ajaran Islam bersandar pada prinsip Tauhid,  yaitu percaya “Allah itu Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” Bahkan tauhid merupakan kosep teoritis yang harus dilaksanakan karena merupakan syarat mutlak setiap Muslim.
Sifat Tuhan
Al-Qur’an merujuk sifat Tuhan ada pada asma’ul husna (lihat QS. al-A’raf [7]:180, al-Isra’ [17]:110, Ta Ha [20]:8, al-Hasyr [59]:24). Menurut Gerhard Böwering, “Nama-nama tersebut menurut tradisi dijumlahkan 99 sebagai nama tertinggi (al-ism al-aʿẓam), nama tertinggi Tuhan, Allāh. Perintah untuk menyeru nama-nama Tuhan dalam sastra tafsir Qurʾān ada dalam Surah Al-Isra’ ayat 110, “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma’ul husna (nama-nama yang terbaik),” dan juga Surah Al-Hasyr ayat 22-24, yang mencakup lebih dari selusin nama Tuhan.”[17] “Nama-nama Tuhan yang paling baik” mencakup:
  • Maha Pemurah
  • Maha Penyayang
  • Maha Pemberi
  • Maha Pemelihara
  • Tuhan Yang Mengaruniakan Keamanan
  • Tuhan Yang Tidak tergantung siapa-siapa
  • Tuhan Yang Kekal (yang tidak pernah mati)
  • Maha Adil
Tuhan Maha Tahu
Al-Qur’an menjelaskan Tuhan Maha Tahu atas segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, termasuk hal pribadi dan perasaan, dan menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat sembunyi dari-Nya: “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Yunus [10]:61
Konsep Tuhan berdasar spekulasi
Sebagian ulama berbeda pendapat terkait konsep Tuhan. Namun begitu, perbedaan tersebut belum sampai mendistorsi Al-Qur’an. Pendekatan yang bersifat spekulatif untuk menjelaskan konsep Tuhan juga bermunculan mulai dari rasionalitas hingga agnostisisme, panteisme, mistisme, dan lainnya dan juga ada sebagian yang bertentangan dengan konsep tauhid sehingga dianggap sesat oleh ulama terutama ulama syariat.
Dalam Islam, bentuk spekulatif mudah dibedakan sehingga jarang masuk ke dalam konsep tauhid sejati. Beberapa konsep tentang Tuhan yang bersifat spekulatif di antaranya adalahHululIttihad, dan Wahdatul Wujud.
Hulul
Hulul atau juga sering disebut “peleburan antara Tuhan dan manusia” adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasutadalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.
Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-gumaman syatahat (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa cinta yang melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah (an-nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.
Mansur al-Hallaj menggunakan ayat Al-Qur’an semisal surah Al-Baqarah ayat 34 untuk menjelaskan pahamnya. Dalam ayat itu berbunyi, “…sujudlah wahai para malaikat kepada Adam…“. Al-Hallaj menjelaskan bahwa mengapa Allah memerintahkan bersujud kepada Adam padahal seharusnya hanya bersujud kepada Allah dikarenakan saat itu Allah telah mengambil tempat dalam diri Adam sehingga Adam memiliki kemuliaan Allah. Al-Hallaj juga menyebutkan hadits yang mendukung pendapatnya, seperti, “Sesungguh-Nya Allah menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya.” Dan juga menurutnya hulul pernah terjadi pada diri Isa, dimana Allah mengambil tempat pada dirinya.
 Ittihad
Ittihad adalah paham yang dipopulerkan Abu Yazid al-Bustami. Ittihad sendiri memiliki arti “bergabung menjadi satu”, sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa’. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad, “diam pada kesadara ilahi“.
Berbeda dengan Hulul, jika dalam Hulul “Tuhan turun dan melebur dalam diri manusia”, maka dalam Ittihad manusia-lah yang naik dan melebur dalam diri Tuhan.[10]
Wahdatul Wujud
Wahdatul Wujud merupakan paham yang dibawa Ibnu Arabi. Wahdatul Wujud bermula dari hadits Qudsi, “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Ku-ciptakan makhluk, maka mereka mengenal Aku melalui diri-Ku.” Menurutnya, Tuhan tidak akan dikenal jika tidak menciptakan alam semesta. Alam merupakan pemampakan lahir Tuhan.
Menurut paham ini, Tuhan dahulu berada dalam kesendirian-Nya yang mutlak dan tak dikenal. Lalu Dia memikirkan diri-Nya sehingga muncul nama dan sifat-Nya. Kemudian Dia menciptakan alam semesta. Maka seluruh alam semesta mengandung diri Allah, sehingga Allah adalah satu-satunya wujud yang nyata dan alam semesta hanya bayang-bayang-Nya. Bedasar pikiran tersebut, Ibnu Arabi berpendapat seorang sufi dapat keluar dari aspek kemakhlukan dan dapat melebur dalam diri Allah
sumber : wikipedia dan berbagai sumber lainnya

Baca Selengkapnya ....
Buat Email | Copyright of Nahdlatul Ulama.